BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semua
makhluk adalah hamba Allah Swt. yang wajib beribadah kepada Allah Yang Maha
Esa. Ibadah merupakan tujuan yang disukai dan diridhai oleh Allah Swt. Semua
makhluk diciptakan untuk beribadah, sebagaimana firman Allah dalam QS.
Adz-Dzaariyaat ayat 56, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku”.
Pembahasan
ibadah mencakup beberapa perkara, yaitu: bersuci, shalat, jenazah, puasa, i’tikaf,
zakat, haji, sumpah dan nadzar, makanan dan minuman, hewan buruan dan
sembelihan, qurban, aqiqah, dan khitan.[1]
Salah satu yang akan dibahas dalam makalah ini adalah perihal mengenai bersuci
atau thaharah. Pembahasan thaharah lebih dahulu daripada pembahasan mengenai
shalat. Sebab, thaharah merupakan syarat yang tetap bagi sahnya shalat yang
dilakukan minimal lima kali dalam sehari. Karena shalat adalah untuk menghadap
Allah Swt., maka menunaikannya harus dalam keadaan suci. Islam sangat
mementingkan kebersihan, terutama pada seluruh penganutnya supaya senantiasa
bersih baik lahiriah maupun rohaniah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian thaharah?
2.
Bagaimana ketentuan-ketentuan dalam
thaharah?
3.
Apa dan bagaimana macam-macam tata cara
thaharah?
4.
Apa saja hikmah thaharah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah dan Dasar
Hukumnya
Istilah thaharah
dari segi bahasa (lughawi) diartikan
sebagai mensucikan diri dari segala macam kotoran, baik badaniyah atau najis
yang hissi (terlihat) seperti kencing atau yang lainnya, maupun rohaniyah atau
najis ma’nawi yang tidak terlihat
zatnya seperti aib dan maksiat. Menurut pengertian syara’, thaharah adalah
menghilangkan hadats dan najis dari badan, atau kotoran dari tempat
(lingkungan) dan pakaian.
Dasar hukum
thaharah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Sebab, bersuci merupakan perintah dari
Allah Swt.
1. QS.
Al-Baqarah: 222.
Artinya:
“ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang taubat dan orang-orang yang mensucikan
dirinya.”
2.
QS.
Al-Maidah: 6
“.... dan jika
engkau memiliki hadats besar (junub), maka bersucilah...”
3.
QS.
Al-Muddatsir: 4
Artinya:”Dan pakaianmu bersihkanlah” (QS.
Al-Muddatsir:4)
Kemudian
Rasulullah Saw menegaskan dalam haditsnya:
“Bersuci adalah separuh (sebagian) dari iman.” (HR. Ibnu Majah dari
Ali bin Abi Thalib)
Dalam hadits
lain juga disebutkan,
“Kunci dari shalat adalah bersuci” (HR. Al Hakim, Ibn Majah, dari
Ali bin Abi Thalib)
Bersuci juga dibedakan menjadi dua, yaitu bersuci
bagian lahiriyah (jasmani) yang
meliputi membersihkan diri dari najis, membersihkan segala macam benda yang
dapat menimbulkan kurang harmonis dipandang oleh mata, seperti memangkas
rambut, memotong kuku, kumis, dan lain-lain, serta membersihkan diri dari
hadats; yang kedua yaitu bersuci bagian batiniyah
(rohani) yang meliputi membersihkan diri dari perbuatan dosa kecil dan dosa
besar, membersihkan hati dari budi pekerti yang tercela, membersihkan hati dari
niat yang tidak ikhlas karena Allah dalam beribadah.
B. Ketentuan-Ketentuan dalam Thaharah
1.
Alat-Alat/Media untuk Bersuci
a. Air
Air terbagi menjadi
lima (5) macam[2],
yaitu:
1) Air
suci lagi mensucikan (air muthlak)
Air
ini adalah air yang suci dan dapat menyucikan benda lain[3].
Air ini digunakan untuk menghilangkan hadats besar, kecil, najis, dan lain
sebagainya. Seperti, air yang jatuh dari langit (air hujan, salju, embun) atau
yang bersumber dari bumi (air sumur, sungai, sumur, mata air, leding, dan air
laut, air zamzam);
air yang warna, rasa, dan baunya tidak berubah, atau berubah namun penyebabnya
tidak sampai menghilangkan sifat kesuciannya, seperti disebabkan oleh tanah
yang suci, garam, atau tumbuhan air; dan juga air yang belum musta’mal
(belum digunakan untuk bersuci) seperti air yang mengalir di antara dua bukit,
air telaga, air hujan, air salju, air beku (es), air yang menjadi garam, atau
air yang menjadi uap, karena semuanya itu adalah air yang sebenarnya.
2) Air
suci, tetapi tidak mensucikan
Air
ini merupakan air yang sudah terpakai, tercelup tangan, tetapi masih bersih
(bagus). Air ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja, kecuali untuk mandi wajib
dan berwudhu. Air yang seperti ini terbagi menjadi tiga (3) macam, yaitu:
a)
Air yang sudah dipakai
Air
yang dimaksud adalah air yang berada dalam satu ember atau dalam bak yang
kurang dari dua (2) kulah[4].
Kemudian kemasukan percik air bekas wudhu, atau tercelup dengan tangan,
kemasukan binatang baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, makanan, dan
lain sebagainya.
b)
Air yang berubah warnanya
Air
yang dimaksud adalah air yang sudah berubah warna, rasa, dan baunya karena
bercampur dengan zat yang suci seperti kopi, teh, susu, dan sebagainya.
c)
Air pohon-pohonan atau buah-buahan
Adalah
air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, seperti air nira, air
kelapa.
3)
Air kemasukan najis (kotoran)
Air
ini merupakan air bersih, tetapi di dalamnya ada najis. Air seperti ini terbagi
menjadi dua (2) macam, yaitu:
a) Kurang
dari dua kulah
Air
ini walaupun kemasukan najis hukumnya adalah suci, tetapi tidak mensucikan (bila tidak berubah warna,
rasa, dan baunya). Tetapi apabila berubah pada salah satu sifatnya tersebut,
maka air itu digolongkan sebagai air mutanajjis (air yang terkena najis)
sehingga tidak dapat dipergunakan untuk keperluan apapun.
b) Cukup
dua kulah
Air
ini bila kemasukan najis namun warna, rasa, dan baunya tidak berubah, maka air
ini dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu dan keperluan lain. Akan
tetapi, bila terdapat perubahan pada warna, rasa, dan baunya maka air ini tidak
dapat dipergunakan untuk apapun karena akan menimbulkan bahaya (penyakit) bagi
pemakainya.
4) Air
suci lagi mensucikan, tetapi makruh
Air
yang dimaksud dalam hal ini adalah air yang diisi dalam tempat yang berkarat,
seperti drum, kaleng, kemudian air di dalamnya terkena sinar matahari sehingga
terasa panas. Dimakruhkan karena akan membawa akibat gejala-gejala penyakit
kulit.
5) Air
suci lagi mensucikan, tetapi haram
Air
yang termasuk dalam golongan ini adalah air yang diwakafkan hanya khusus untuk
diminum saja. Jadi, walaupun air tersebut suci dan mensucikan tetapi haram bila
digunakan untuk bersuci (mandi wajib, dan berwudhu).
b. Debu
atau Tanah
Debu
digunakan sebagai alat untuk bersuci menggantikan air, apabila kita tidak boleh
mempergunakan air karena sakit, terlalu dingin, atau tidak mendapatkan air
untuk bersuci. Debu yang digunakan haruslah debu yang bersih, yang tidak
menimbulkan penyakit batuk, sakit paru-paru, dan lain-lain. Bersuci menggunakan
debu disebut juga dengan tayamum. Debu yang kotor tidak dapat digunakan untuk
bersuci karena tidak sah. Selain itu, debu yang sudah dipakai untuk bertayamum
tidak boleh digunakan lagi sebagaimana sama dengan ketentuan pada air yang
sudah terpakai tidak dapat dipergunakan lagi untuk berwudhu dan mandi besar.
2.
Macam dan Jenis Najis
Najis adalah tiap benda/zat yang kotor, kemudian
dilarang/diharamkan menggunakannya dengan sengaja atau memakannya, karena akan
membahayakan fisik maupun mental. Najis dibedakan menjadi dua, yaitu najis hissiyah (air kencing, tinja,
darah, dan lain-lain), dan najis hukmiyah
(haidh, nifas, dan lain-lain). Secara garis besar, macam-macam najis dijelaskan
dalam QS. Al-Maidah:6. Di antaranya adalah:
a. Bangkai,
yaitu semua binatang darat yang berdarah, kecuali bangkai ikan, binatang laut,
dan belalang.
b. Darah
(saren), yaitu darah yang keluar baik karena disembelih maupun tidak, kecuali
hati dan limpa.
c. Anjing
dan babi.
d. Air
kencing.
e. Tinja.
f. Madzi
(cairan putih dan lengket yang keluar karena syahwat).
g. Wadi
(cairan yang bening dan padat keluar setelah buang air kecil).
Sedangkan dari jenisnya, najis dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:
a. Najis mughaladzah
(najis yang berat), seperti babi dan anjing. Cara membersihknnya adalah dengan
mencuci sebanyak tujuh kali tempat yang terkena najis. Satu kali yang pertama
adalah dengan air bercampur tanah/debu yang bersih, kemudian yang enam kali
adalah dengan air biasa yang kemudian dibersihkan dengan sabun.
b. Najis mutawasithah
(najis yang sedang/pertengahan) seperti terkena ir kencing, dan lain-lain. Cara
membersihkannya adalah dengan mencuci menggunakan sabun pada bagian yang
terkena najis hingga bau, warna, maupun rasanya hilang.
c. Najis mukhafafah
(najis ringan) seperti air kencing bayi laki-lki yang belum diberi makan,
dengan cukup dibersihkan menggunakan air bersih.
C. Macam-Macam Tata Cara Thaharah
Ada beberapa macam tata
cara thaharah/bersuci, yaitu:
1. Mandi
a. Pengertian Mandi
Dilihat
dari segi bahasa, mandi (al-ghusl atau
al-ghaslu) memiliki arti yaitu mengalirkan air ke atas sesuatu secara
mutlak.[5]
Menurut istilah syara’, mandi adalah meratakan air ke seluruh tubuh dengan cara
tertentu.[6]
Perintah untuk mandi termaktub dalam QS. An-Nisa:43, yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”
Perintah mandi juga
ditegaskan dalam QS. Al-Maidah: 6,
“… Jika kamu junub maka mandilah…”
Junub/janabah dalam pengertian bahasa ialah
menjauhkan, menghindari, atau menghilangkan. Sedangkan dalam pengertian syara’,
junub berarti sesuatu yang keluar secara biologis dari tubuh orang dewasa, yang
menyebabkan dia mandi wajib sebelum melakukan ibadah tertentu.[7]
b. Perkara-Perkara
yang Menyebabkan Mandi Wajib
Perkara
yang menyebabkan mandi wajib dinamakan sebagai hadats besar. Perkara-perkara
tersebut adalah:
1) Hubungan
seks (jima’)
Maksudnya adalah
berjunub, yaitu orang yang melakukan persetubuhan baik keluar sperma/mani
maupun tidak. Hal ini menyebabkan orang tersebut wajib melakukan mandi wajib.
Dasar pelaksanaan mandi wajib dalam hal ini adalah sabda Rasulullah Saw: “Nabi Saw bersabda: ‘Apabila salah satu di
antaramu duduk di antara dua kaki dan dua tangan perempuan kemudian mengadakan
hubungan seks (menyetubuhinya), maka sungguh telah wajib mandi (pria dan
wanita), sekalipun tidak mengeluarkan sperma.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2) Keluar
sperma/mani
Keluarnya
sperma dalam hal ini adalah sperma yang keluar degan sendiri tanpa disengaja
ataupun dikeluarkan dengan sengaja. Dengan keluarnya sperma ini, berarti orang
tersebut telah dewasa (baligh). Keluar sperma dengan sebab bersetubuh atau
mimpi bersetubuh (mimpi basah), baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana sabda
Rasulullah Saw: “Bahwasannya Khaulah
binti Hakim bertanya kepada Nabi Saw tentang hal perempuan yang bermimpi
bersetubuh dalam tidur seperti pria mimpi. Maka bersabda Nabi:” Apabila engkau
melihat air (sperma) maka hendaknya ia mandi.” (HR. An-Nasai)
3) Haidh
(menstruasi)
Haidh
adalah darah yang keluar dari rahim (alat vital) pada perempuan sehat, yang
berusia 9 tahun dan pada umumnya 12 tahun. Hal ini merupakan ciri-ciri khas
seorang perempuan telah dewasa (balighah). Lamanya haidh maksimal sepuluh
sampai tiga belas hari/malam dan paling sedikit sehari semalam. Apabila lebih
dari itu, bukan dinamakan haidh, melainkan darah penyakit (istihadhah). Bagi
wanita yang sedang datang bulan dibebaskan dari kewajiban shalat. Sebagaimana
ketetapan Rasulullah Saw,
“Apabila datang haidh, tinggalkan shalat dan selesai haidh, maka mandi
dan kerjakanlah shalat.” (HR. Bukhari)
Wanita
yang mengeluarkan darah istihadhah tidak wajib mandi. Bila menurut
perhitungannya seharusnya sudah berhenti dan yakin memang masa haidhnya sudah
habis, maka darah tersebut dibersihkan dengan pembalut sebelum berwudhu untuk
melaksanakan shalat.
4) Nifas
Nifas
yaitu darah yang keluar dari Rahim perempuan mengiringi anak pada saat
melahirkan. Lamanya nifas umumnya empat puluh hari/malam, dan maksimal enam
puluh hari/malam. Lebih dari itu disebut darah istihadhah, dan caranya sama
seperti darah istihadhah ketika haidh.
5) Wiladah
Adalah
orang perempuan yang melahirkan tetapi tidak ada darahnya. Ataupun keguguran,
gumpalan daging ke luar, baik dalam bentuk janin atau tidak. Dasar hukum mandi
wajib perempuan nifas dan wiladah
diqiyaskan seperti haidh (ijma’ para sahabat).
6) Mati
(selain mati syahid)
Apabila
seorang muslim meninggal dunia, maka wajib kifayah bagi umat muslim lain untuk
memandikannya. Lain halnya ketika seorang muslim yang mati syahid dalam membela
agama Allah, maka tidak wajib dimandikan
elainkan langsung dikafani.
7) Orang
kafir masuk Islam
“Dari Qais bin ‘Ashim, waktu itu masuk Islam, Rasulullah Saw.
Menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara.” (HR. Ahli Hadits, kecuali
Ibnu Majah)
c. Rukun-Rukun
Mandi Junub
1) Niat
Mandi Wajib
Niat
mandi wajib secara umum (keluar sperma, haidh, nifas, wiladah, hubungan seks):
“Sengaja aku mengangkat hadats besar dari
sekalian badan wajib atasku karena Allah Ta’ala.”
Begitu
pula niat mandi wajib karena sebab haidh, nifas, wiladah, keguguran. Lafadz
niatnya sama, hanya diganti pada bagian kata mengangkat hadats besar, jika
karena haidh diganti menjadi mengangkat hadats haidh, dan seterusnya. Adapun niat yang dianggap sah ialah niat melakukan
kefardhuan mandi, niat menghilangkan hadats besar, dan niat supaya
diperbolehkan melakukan sesuatu yang membutuhkan mandi seperti niat agar
diperbolehkan shalat, tawaf, dan sebagainya.
2) Meratakan
Air
Maksudnya
adalah air harus diratakan ke seluruh badan termasuk bulu roma, rambut,
jenggot, celah-celah lobang seperti ketiak, bagian alat vital, telinga, pusar, kulit kepala,
dan
seterusnya. Sebelum mandi hilangkan dulu semua kotoran yang ada pada badan
seperti kutek, lipstick, cat, dan
lain-lain.
d. Sunnah-Sunnah
Mandi
1) Membasuh
kedua tangan sebelum memasukannya ke dalam tempat air sebanyak tiga kali.
2) Membasuh
kemaluan.
3) Berwudhu
dengan sempurna seperti sebelum melakukan shalat.
4) Mengalirkan
air ke kepala sebanyak tiga kali sambil menyelang-nyelangi rambut agar air
sampai membasahi kulit kepala.
5) Lalu
mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan mendahulukan bagian kanan sebelum kiri,
sambil menggosok-gosok anggota tubuh, termasuk bagian-bagian yang tidak mudah
dijangkau dan dialiri air, seperti bgin dalam telinga, pusar, dua ketiak, dan
sela-sela jari kaki.
e. Hal-Hal
yang Diharamkan Bagi Orang Junub
1) Shalat.
2) Thawaf.
3) Menyentuh
dan Membawa Mushaf (Al-Qur’an).
4) Membaca
Al-Qur’an.
5) Berdiam
diri di masjid.
f. Macam-Macam Mandi Sunat
Diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Mandi pada hari Jumat.
2) Mandi pada hari raya Idul Fitri, Idul Adh-ha, dan hari
Arafah.
3) Mandi waktu akan memakai ihram.
4) Mandi sehabis memandikan jenazah.
5) Mandi karena baru masuk Islam.
2. Wudhu
a. Pengertian
Wudhu
Pengertian
wudhu secara bahasa ialah kebersihan dari segala macam kotoran. Sedangkan dalam
istilah syara’, wudhu adalah membasuh secara urutan (tertib) anggota-anggota
wudhu yang dikhususkan oleh syara’. Atau dengan kata lain, wudhu adalah
membasuh muka dengan air, kedua tangan hingga kedua siku, kedua kaiki hingga
kedua mata kaki, mengusap kepala dengan urutan tertentu, dan dilakukan secara
berturut-turut (muwalat) dengan disertai niat untuk menghilangkan hadats kecil,
sehingga bisa menjadikan orang yang melakukannya boleh melakukan shalat, memegang mushaf, dan
thawaf.[8]
b. Landasan
Hukum Wudhu
Hal
ini dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya QS. Al-Maidah:6 “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
ukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai kedua mata kaki”.
c. Syarat
Sahnya Wudhu
1) Islam.
2) Tamyis
(dapat membedakan antara baik dan buruk).
3) Dialkukan
dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan.
4) Tidak
ada yang menghalangi sampainya air pada anggota wudhu, seperti cat dan getah.
5) Tidak
dalam keadaan berhadats besar.
d. Rukun-Rukun
Wudhu yang Disepakati oleh Semua Ulama adalah:
1) Membasuh
muka
2) Membasuh
kedua tangan hingga ke siku
3) Mengusap
kepala
4) Membasuh
kedua kaki hingga kedua mata kaki
e. Sunnah-Sunnah
Wudhu
1) Niat
(sunnah menurut madzhab Hanafi).
2) Membasuh
kedua tangan hingga ke pergelangan sebanyak tiga kali sebelum memasukkan kedua
tangan ke dalam tempat air.
3) Membaca
bismillah pada permulaan wudhu, yaitu ketika membasuh kedua tangan hingga
sampai kepada dua pergelangan.
4) Berkumur
dan membersihkan hidung.
5) Bersiwak.
6) Menyela-nyela
jenggot, ari tangan, dan jari kaki.
7) Membasuh
sebanyak tiga kali.
8) Mengusap
seluruh kepala.
9) Mengusap
kedua telinga bagian luar dan bagian dalam dengan air yang baru.
10) Memulakan
dengan anggota yang sebelah kanan ketika membasuh.
11) Tartib
(berurutan/berturut-turut)
12) Sederhana. Tidak boros dalam memakai air wudhu.
13) Berdoa ketika dan sesudah berwudhu.
f. Perkara-Perkara
yang Membatalkan Wudhu
1) Keluar sesuatu dari qubul atau dubur berupa apapun.
Seperti: kencing, buang air besar, angin dubur atau kentut, mani, madzi, dan
wadi.
2) Tidur nyenyak, kecuali dalam posisi duduk yang mantap.
3) Hilang akal, disebabkan gila, mabuk, dan lain-lain.
4) Bersinggungan antara kulit laki-laki dan perempuan yang
telah dewasa dan tidak ada hubungan mahram.
5) Menyentuh kemaluan manusia dengan bagian dalam telapak
tangan.
g. Hal-Hal yang Tidak Diperbolehkan Bagi Orang yang Tidak
Memiliki Wudhu
1) Shalat.
2) Thawaf.
3) Menyentuh mushaf.
3. Tayamum
a. Pengertian
Tayamum
Secara
bahasa, tayamum adalah al-qashdu
(bermaksud), at-tawajjuhu (menuju),
dan al-qashd (niat). Dalam istilah
syara’, tayamum adalah bersuci menggunakan sesuatu yang halus/lembut dari
permukaan bumi, dengan cara tertentu karena tidak ada air atau disebabkan oleh
udzur yang menyebabkan seseorang tidak bisa menggunakan air.[9]
Debu
yang digunakan untuk bertayamum adalah debu yang suci, dan segala sesuatu yang
termasuk jenis tanah, seperti kerikil, batu, dan kapur batu.[10]
Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa:43, “Maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci).”
b. Landasan Hukum Tayamum
Tayamum
dijelaskan dalam QS. An-Nisa: 43 yang berbunyi:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”
c. Sebab-Sebab
Tayamum
1) Tidak
adanya air yang mencukupi untuk wudhu ataupun mandi.
2) Tidak
ada kemampuan untuk menggunakan air.
3) Sakit
atau lambat sembuh.
4) Ada
air, tetapi ia diperlukan untuk sekarang ataupun untuk masa yang akan datang.
5) Khawatir
hartanya rusak jika ia mencari air.
6) Iklim
yang sangat dingin atau air menjadi sangat dingin.
7) Tidak
ada alat untuk mengambil air, seperti tidak ada timba ataupun tali.
8) Khawatir
terlewat waktu shalat.
d. Syarat-Syarat
Tayamum
Syarat-syarat
diperbolehkannya tayamum, adalah sebagai berikut:
1) Adanya
udzur sebab bepergian atau sakit.
2) Sudah
masuk waktu shalat.
3) Sudah
berusaha mencari air setelah masuk waktu shalat.
4) Menghilangkan
najis yang mungkin melekat pada tubuh sebelum tayamum.
5) Adanya
halangan untuk menggunakan air.
6) Memakai
debu atau tanah yang suci.
e. Tata
Cara Tayamum[11]
1) Niat.
2) Menyebut
nama Allah (tasmiyah).
3) Menepukkan
telapak tangan bagian dalam ke atas “benda lembut dari permukaan tanah (tanah)”
sebanyak satu kali.
4) Menipiskan
debu yang melekat pada dua telapak tangan dengan cara meniup, dan mengibaskan,
atau dengan cara mengusapkan bagian dalam telapak tangan kanan pada bagian
dalam telapak tangan kiri.
5) Mengusap
seluruh wajah (bagian yang tampak dari wajah) dengan bagian dalam satu telapak
tangan atau bagian dalam dua telapak tangan sebanyak satu kali usapan.
6) Mengusapkan
bagian dalam telapak tangan kiri pada punggung telapak tangan kanan, mulai dari
ujung jemari hingga dua pergelangan, atau dari dua pergelangan hingga ujung
jemari. Ini dilakukan satu kali sapuan.
7) Mengusapkan
bagian dalam telapak tangan kanan pada punggung telapak tangan kiri, mulai dari
ujung jemari hingga dua pergelangan, atau dari dua pergelangan hingga ujung
jemari. Ini dilakukan satu kali sapuan.
8) Tartib
(berurutan), yang diusap terlebih dahulu adalah wajah, baru kemudian punggung
dua telapak tangan.
9) Muawalat
(berturut-turut).
f. Hal-Hal yang Membatalkan Tayamum[12]
1) Semua hal yang membatalkan wudhu.
2) Sudah dapat menggunakan air,seperti sudah sembuh, tidak
dingin, dan lain-lain.
3) Melihat air sebelum mulai melaksanakan shalat, dan bagi
orang yang sakit bila telah sanggup memakainya.
4) Keluarnya waktu shalat.
5) Murtad.
4. Istinja’
Menurut
bahasa istinja’ adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan
najis, yaitu tahi. Sedangkan menurut istilah syara’, istinja’ berarti perbuatan
yang dilakukan untuk menghilangkan najis dengan menggunakan benda seperti air
atau batu. Istijmar yaitu membersihkan najis dengan menggunakan batu dan
yang semacamnya. Sedangkan istibra’ ialah membersihkan tempat keluar
najis dari sisa-sisa percikan air kencing.
D. Hikmah Thaharah
Dalam
syariat Islam, bersuci mempunyai beberapa manfaat, antara lain sebagai berikut:[13]
1. Kita
semua tahu bahwa benda-benda najis baik dari dalam maupun luar tubuh manusia
adalah benda-benda kotor yang banyak mengandung bibit penyakit dan dapat
membawa madharat bagi kesehatan tubuh manusia. Karena itu, dengan bersuci
berarti telah melakukan usaha untuk menjag kesehatan.
2. Kebersihan
dan kesehatan jasmani yang dicapai melalui bersuci akan menambah kepercayaan
diri sendiri. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu
mengutamakan kebersihan dan kesucian.
3. Syariat
bersuci berisi ketentuan-ketentuan dan adab, jika dilaksanakan dengan penuh
kesadaran dan kedisiplinan akan menumbuhkan kebiasaan yang baik. Ketentuan dan
adab bersuci dalam Islam berbentuk ajaran yang mempertinggi harkat dan martabat
manusia.
4. Sebagai
hamba Allah Swt, yang harus mengabdi kepada-Nya dalam bentuk ibadah maka
bersuci merupakan salah satu syarat sahnya sehingga menunjukkan pembuktian awal
ketundukannya kepada Allah Swt.
BAB
III
PENUTUP
Dari pemaparan makalah
yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa thaharah
merupakan kegiatan bersuci atau membersihkan diri dari segala macam kotoran,
baik badaniyah atau najis yang hissi (terlihat) seperti kencing atau yang
lainnya, maupun rohaniyah atau najis ma’nawi
yang tidak terlihat zatnya seperti aib dan maksiat. Dasar hukum
dilaksanakannya thaharah terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, salah
satunya yaitu QS. Al-Baqarah:222, Al-Muddatsir:4, dan lain-lain. Dalam
berthaharah juga terdapat ketentuan-ketentuan seperti jenis-jenis air yang
digunakan untuk bersuci dan lain sebagainya. Selain itu, macam-macam dan tata
cara thaharah ada beberapa macam, yaitu mandi, wudhu, dan tayamum. Thaharah
juga memiliki banyak hikmah, salah satunya yang terpenting adalah dengan
berthaharah, umat muslim dapat terhindar dari segala macam penyakit dan selalu
memperhatikan kebersihan, sebab Allah sangat menyukai kebersihan. Selain itu
juga, dengan berthaharah melambangkan ketundukan umat muslim sebagai hamba Allah
Swt.
DAFTAR
PUSTAKA
Matdawam, Muhammad Noor. 2004. Bersuci dan Shalat serta Butir-Butir
Hikmahnya. Yogyakarta: T.P
Az-Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Islam
Wa Adillatuhu. Jakarta: Darul Fikir
Uwaidhah, Mahmud Abdul Lathif.
2012. Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an
dan Hadits. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Ulfah, Isnatin. 2009. Fiqih Ibadah Menurut Al-Qur’an, Sunnah, dan
Tinjauan Berbagai Madzhab. Ponorogo: STAIN Po Press
Abidin,
Slamet dan Moh. Suyono. 1998. Fiqih
Ibadah untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS. Bandung: CV. Pustaka Setia
Azzam,
Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2010. Fiqih Ibadah Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji. Jakarta: Amzah
[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 200.
[4]
Kalau bak (persegi) minimal panjang 60 cm, lebar 60 cm, dan dalamnya 60 cm.
216000cm3 atau 216 liter. Kalau bulat seperti drum, maka garis
tengahnya 1 hasta (lk. 48 cm) dan dalamnya 2 ¼ hasta (lk. 108 cm) dan
kelilingnya 3 1/7 hasta (lk. 121 cm). Menurut ukuran timbangan, 2 kulah sama
dengan 195,112 kg.
[5] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 425.
[6] Ibid., hlm. 425.
[11] Ibid., hlm. 715.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar