Senin, 05 Juni 2017

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) MI/SD



LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD)
untuk Kelas IV SD/MI
Ilmu Pengetahuan Alam

SIFAT-SIFAT CAHAYA

A.     Tujuan Kegiatan
Kompetensi Dasar:
3.6 Memahami sifat-sifat cahaya melalui pengamatan dan mendeskripsikan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
Indikator:
3.6.1 Siswa mampu memahami sifat-sifat cahaya melalui praktik pembuktian dengan baik dan benar
3.6.2 Siswa mampu menjelaskan berbagai penerapan cahaya dalam kehidupan sehari-hari dengan mempresentasikan dengan baik hasil praktik secara berkelompok

B.      Alat dan Bahan
1.         Buah apel/jeruk
2.        Senter/laser
3.        Cermin datar
4.        Gelas bening/gelas plastik bening
5.        Air 
6.        Pensil/pena
7.        Botol bekas parfum/pewangi pakaian semprot
8.        Potongan kardus dengan ukuran 30 × 30 cm

C.      Cara Kerja
1.     Semua alat dan bahan disiapkan
2.    Siswa berdiri kurang lebih 2-3 meter menghadap tembok kelas
3.    Siswa memegang senter/laser dengan menggunakan tangan kanan
4.    Senter dihidupkan ke arah tembok dan diamati hasilnya serta dicatat di dalam tabel pengamatan
5.    Siswa menyiapkan buah apel/jeruk, gelas kaca/plastik bening, dan senter
6.    Senter dihidupkan dengan arah menuju buah apel/jeruk, kemudian diamati dan dicatat di tabel pengamatan
7.    Senter kemudian dihidupkan ke arah gelas kaca/plastik bening, diamati dan kemudian dicatat hasilnya di tabel pengamatan
8.    Gelas kaca bening diisi air hingga mendekati penuh, kemudian pensil/pena dimasukkan ke dalamnya. Selanjutnya diamati dan dicatat hasilnya di dalam tabel pengamatan
9.    Cermin datar diletakkan di atas potongan kardus dengan posisi cermin berdiri
10. Senter dinyalakan dan di arahkan pada cermin dengan sudut kurang lebih 120° (sudut tumpul). Kemudian diamati dan hasilnya dicatat di tabel pengamatan
11.   Air dimasukkan ke dalam botol bekas parfum/pewangi pakaian semprot dan kemudian berdiri di tempat yang terkena sinar matahari
12. Air di dalam botol disemprotkan tepat di bawah sinar matahari, kemudian diamati dan dicatat hasilnya dalam tabel pengamatan

D.     Tabel Pengamatan
No
Kegiatan
Hasil Pengamatan
1.
Berdiri di depan tembok
....
2.
Senter diarahkan ke gelas
....
3.
Senter diarahkan ke buah
....
4.
Pensil/pena dimasukkan ke dalam gelas berisi air
....
5.
Senter diarahkan ke cermin datar
....
6.
Menyemprotkan air di bawah sinar matahari
....

E.      Analisis Data Hasil Pengamatan


F.      Evaluasi
1.     Apabila sebuah lilin yang menyala diletakkan di samping tiga kertas yang dilubangi sesuai dengan tinggi cahaya lilin, apakah cahaya tetap merambat lurus? Berikan alasanmu!
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
2.    Apabila gelas yang awalnya berisi air putih/bening biasa diganti dengan menggunakan cairan berwarna gelap, kira-kira apa yang terjadi?
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
3.    Jika kita bercermin, kita akan melihat bayangan kita pada cermin tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi?
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
4.    Sifat cahaya yang bagaimanakah pada peristiwa alam adanya pelangi?
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................

G.     Simpulan

 Sumber: Permendikbud No 57 Tahun 2014

Senin, 30 November 2015

Makalah tentang Thaharah



                                                                                            

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Semua makhluk adalah hamba Allah Swt. yang wajib beribadah kepada Allah Yang Maha Esa. Ibadah merupakan tujuan yang disukai dan diridhai oleh Allah Swt. Semua makhluk diciptakan untuk beribadah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Adz-Dzaariyaat ayat 56, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.
Pembahasan ibadah mencakup beberapa perkara, yaitu: bersuci, shalat, jenazah, puasa, i’tikaf, zakat, haji, sumpah dan nadzar, makanan dan minuman, hewan buruan dan sembelihan, qurban, aqiqah, dan khitan.[1] Salah satu yang akan dibahas dalam makalah ini adalah perihal mengenai bersuci atau thaharah. Pembahasan thaharah lebih dahulu daripada pembahasan mengenai shalat. Sebab, thaharah merupakan syarat yang tetap bagi sahnya shalat yang dilakukan minimal lima kali dalam sehari. Karena shalat adalah untuk menghadap Allah Swt., maka menunaikannya harus dalam keadaan suci. Islam sangat mementingkan kebersihan, terutama pada seluruh penganutnya supaya senantiasa bersih baik lahiriah maupun rohaniah.
 
B.  Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian thaharah?
2.         Bagaimana ketentuan-ketentuan dalam thaharah?
3.         Apa dan bagaimana macam-macam tata cara thaharah?
4.         Apa saja hikmah thaharah?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thaharah dan Dasar Hukumnya
Istilah thaharah dari segi bahasa (lughawi) diartikan sebagai mensucikan diri dari segala macam kotoran, baik badaniyah atau najis yang hissi (terlihat) seperti kencing atau yang lainnya, maupun rohaniyah atau najis ma’nawi yang tidak terlihat zatnya seperti aib dan maksiat. Menurut pengertian syara’, thaharah adalah menghilangkan hadats dan najis dari badan, atau kotoran dari tempat (lingkungan) dan pakaian.
Dasar hukum thaharah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Sebab, bersuci merupakan perintah dari Allah Swt.
1.      QS. Al-Baqarah: 222.
  Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan          orang-orang yang mensucikan dirinya.
2.      QS. Al-Maidah: 6
 “.... dan jika engkau memiliki hadats besar (junub), maka bersucilah...”
3.      QS. Al-Muddatsir: 4
 Artinya:”Dan pakaianmu bersihkanlah” (QS. Al-Muddatsir:4)
Kemudian Rasulullah Saw menegaskan dalam haditsnya:
 Bersuci adalah separuh (sebagian) dari iman.” (HR. Ibnu Majah dari Ali bin Abi Thalib)
Dalam hadits lain juga disebutkan,
 Kunci dari shalat adalah bersuci” (HR. Al Hakim, Ibn Majah, dari Ali bin Abi Thalib)
Bersuci juga dibedakan menjadi dua, yaitu bersuci bagian lahiriyah (jasmani) yang meliputi membersihkan diri dari najis, membersihkan segala macam benda yang dapat menimbulkan kurang harmonis dipandang oleh mata, seperti memangkas rambut, memotong kuku, kumis, dan lain-lain, serta membersihkan diri dari hadats; yang kedua yaitu bersuci bagian batiniyah (rohani) yang meliputi membersihkan diri dari perbuatan dosa kecil dan dosa besar, membersihkan hati dari budi pekerti yang tercela, membersihkan hati dari niat yang tidak ikhlas karena Allah dalam beribadah.

B.  Ketentuan-Ketentuan dalam Thaharah
1.         Alat-Alat/Media untuk Bersuci
a.    Air
Air terbagi menjadi lima (5) macam[2], yaitu:
1)   Air suci lagi mensucikan (air muthlak)
Air ini adalah air yang suci dan dapat menyucikan benda lain[3]. Air ini digunakan untuk menghilangkan hadats besar, kecil, najis, dan lain sebagainya. Seperti, air yang jatuh dari langit (air hujan, salju, embun) atau yang bersumber dari bumi (air sumur, sungai, sumur, mata air, leding, dan air laut, air zamzam); air yang warna, rasa, dan baunya tidak berubah, atau berubah namun penyebabnya tidak sampai menghilangkan sifat kesuciannya, seperti disebabkan oleh tanah yang suci, garam, atau tumbuhan air; dan juga air yang belum musta’mal (belum digunakan untuk bersuci) seperti air yang mengalir di antara dua bukit, air telaga, air hujan, air salju, air beku (es), air yang menjadi garam, atau air yang menjadi uap, karena semuanya itu adalah air yang sebenarnya.
2)   Air suci, tetapi tidak mensucikan
Air ini merupakan air yang sudah terpakai, tercelup tangan, tetapi masih bersih (bagus). Air ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja, kecuali untuk mandi wajib dan berwudhu. Air yang seperti ini terbagi menjadi tiga (3) macam, yaitu:
a)        Air yang sudah dipakai
Air yang dimaksud adalah air yang berada dalam satu ember atau dalam bak yang kurang dari dua (2) kulah[4]. Kemudian kemasukan percik air bekas wudhu, atau tercelup dengan tangan, kemasukan binatang baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, makanan, dan lain sebagainya.
b)         Air yang berubah warnanya
Air yang dimaksud adalah air yang sudah berubah warna, rasa, dan baunya karena bercampur dengan zat yang suci seperti kopi, teh, susu, dan sebagainya.
c)         Air pohon-pohonan atau buah-buahan
Adalah air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, seperti air nira, air kelapa.
3)   Air kemasukan najis (kotoran)
Air ini merupakan air bersih, tetapi di dalamnya ada najis. Air seperti ini terbagi menjadi dua (2) macam, yaitu:
a)   Kurang dari dua kulah
Air ini walaupun kemasukan najis hukumnya adalah suci, tetapi  tidak mensucikan (bila tidak berubah warna, rasa, dan baunya). Tetapi apabila berubah pada salah satu sifatnya tersebut, maka air itu digolongkan sebagai air mutanajjis (air yang terkena najis) sehingga tidak dapat dipergunakan untuk keperluan apapun. 
b)   Cukup dua kulah
Air ini bila kemasukan najis namun warna, rasa, dan baunya tidak berubah, maka air ini dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu dan keperluan lain. Akan tetapi, bila terdapat perubahan pada warna, rasa, dan baunya maka air ini tidak dapat dipergunakan untuk apapun karena akan menimbulkan bahaya (penyakit) bagi pemakainya.
4)   Air suci lagi mensucikan, tetapi makruh
Air yang dimaksud dalam hal ini adalah air yang diisi dalam tempat yang berkarat, seperti drum, kaleng, kemudian air di dalamnya terkena sinar matahari sehingga terasa panas. Dimakruhkan karena akan membawa akibat gejala-gejala penyakit kulit.
5)   Air suci lagi mensucikan, tetapi haram
Air yang termasuk dalam golongan ini adalah air yang diwakafkan hanya khusus untuk diminum saja. Jadi, walaupun air tersebut suci dan mensucikan tetapi haram bila digunakan untuk bersuci (mandi wajib, dan berwudhu).
b.   Debu atau Tanah
Debu digunakan sebagai alat untuk bersuci menggantikan air, apabila kita tidak boleh mempergunakan air karena sakit, terlalu dingin, atau tidak mendapatkan air untuk bersuci. Debu yang digunakan haruslah debu yang bersih, yang tidak menimbulkan penyakit batuk, sakit paru-paru, dan lain-lain. Bersuci menggunakan debu disebut juga dengan tayamum. Debu yang kotor tidak dapat digunakan untuk bersuci karena tidak sah. Selain itu, debu yang sudah dipakai untuk bertayamum tidak boleh digunakan lagi sebagaimana sama dengan ketentuan pada air yang sudah terpakai tidak dapat dipergunakan lagi untuk berwudhu dan mandi besar.
2.         Macam dan Jenis Najis
Najis adalah tiap benda/zat yang kotor, kemudian dilarang/diharamkan menggunakannya dengan sengaja atau memakannya, karena akan membahayakan fisik maupun mental. Najis dibedakan menjadi dua, yaitu najis hissiyah (air kencing, tinja, darah, dan lain-lain), dan najis hukmiyah (haidh, nifas, dan lain-lain). Secara garis besar, macam-macam najis dijelaskan dalam QS. Al-Maidah:6. Di antaranya adalah:
a.       Bangkai, yaitu semua binatang darat yang berdarah, kecuali bangkai ikan, binatang laut, dan belalang.
b.      Darah (saren), yaitu darah yang keluar baik karena disembelih maupun tidak, kecuali hati dan limpa.
c.       Anjing dan babi.
d.      Air kencing.
e.       Tinja.
f.       Madzi (cairan putih dan lengket yang keluar karena syahwat).
g.      Wadi (cairan yang bening dan padat keluar setelah buang air kecil).
 Sedangkan dari jenisnya, najis dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Najis mughaladzah (najis yang berat), seperti babi dan anjing. Cara membersihknnya adalah dengan mencuci sebanyak tujuh kali tempat yang terkena najis. Satu kali yang pertama adalah dengan air bercampur tanah/debu yang bersih, kemudian yang enam kali adalah dengan air biasa yang kemudian dibersihkan dengan sabun.
b.      Najis mutawasithah (najis yang sedang/pertengahan) seperti terkena ir kencing, dan lain-lain. Cara membersihkannya adalah dengan mencuci menggunakan sabun pada bagian yang terkena najis hingga bau, warna, maupun rasanya hilang.
c.       Najis mukhafafah (najis ringan) seperti air kencing bayi laki-lki yang belum diberi makan, dengan cukup dibersihkan menggunakan air bersih.

C.  Macam-Macam Tata Cara Thaharah
Ada beberapa macam tata cara thaharah/bersuci, yaitu:
1.      Mandi
a.       Pengertian Mandi
Dilihat dari segi bahasa, mandi (al-ghusl atau al-ghaslu) memiliki arti yaitu mengalirkan air ke atas sesuatu secara mutlak.[5] Menurut istilah syara’, mandi adalah meratakan air ke seluruh tubuh dengan cara tertentu.[6] Perintah untuk mandi termaktub dalam QS. An-Nisa:43, yaitu:
 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”
Perintah mandi juga ditegaskan dalam QS. Al-Maidah: 6,
 “… Jika kamu junub maka mandilah…”
Junub/janabah dalam pengertian bahasa ialah menjauhkan, menghindari, atau menghilangkan. Sedangkan dalam pengertian syara’, junub berarti sesuatu yang keluar secara biologis dari tubuh orang dewasa, yang menyebabkan dia mandi wajib sebelum melakukan ibadah tertentu.[7]
b.      Perkara-Perkara yang Menyebabkan Mandi Wajib
Perkara yang menyebabkan mandi wajib dinamakan sebagai hadats besar. Perkara-perkara tersebut adalah:
1)      Hubungan seks (jima’)
Maksudnya adalah berjunub, yaitu orang yang melakukan persetubuhan baik keluar sperma/mani maupun tidak. Hal ini menyebabkan orang tersebut wajib melakukan mandi wajib. Dasar pelaksanaan mandi wajib dalam hal ini adalah sabda Rasulullah Saw: “Nabi Saw bersabda: ‘Apabila salah satu di antaramu duduk di antara dua kaki dan dua tangan perempuan kemudian mengadakan hubungan seks (menyetubuhinya), maka sungguh telah wajib mandi (pria dan wanita), sekalipun tidak mengeluarkan sperma.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2)      Keluar sperma/mani
Keluarnya sperma dalam hal ini adalah sperma yang keluar degan sendiri tanpa disengaja ataupun dikeluarkan dengan sengaja. Dengan keluarnya sperma ini, berarti orang tersebut telah dewasa (baligh). Keluar sperma dengan sebab bersetubuh atau mimpi bersetubuh (mimpi basah), baik laki-laki maupun perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Bahwasannya Khaulah binti Hakim bertanya kepada Nabi Saw tentang hal perempuan yang bermimpi bersetubuh dalam tidur seperti pria mimpi. Maka bersabda Nabi:” Apabila engkau melihat air (sperma) maka hendaknya ia mandi.” (HR. An-Nasai)
3)      Haidh (menstruasi)
Haidh adalah darah yang keluar dari rahim (alat vital) pada perempuan sehat, yang berusia 9 tahun dan pada umumnya 12 tahun. Hal ini merupakan ciri-ciri khas seorang perempuan telah dewasa (balighah). Lamanya haidh maksimal sepuluh sampai tiga belas hari/malam dan paling sedikit sehari semalam. Apabila lebih dari itu, bukan dinamakan haidh, melainkan darah penyakit (istihadhah). Bagi wanita yang sedang datang bulan dibebaskan dari kewajiban shalat. Sebagaimana ketetapan Rasulullah Saw,
Apabila datang haidh, tinggalkan shalat dan selesai haidh, maka mandi dan kerjakanlah shalat.” (HR. Bukhari)
Wanita yang mengeluarkan darah istihadhah tidak wajib mandi. Bila menurut perhitungannya seharusnya sudah berhenti dan yakin memang masa haidhnya sudah habis, maka darah tersebut dibersihkan dengan pembalut sebelum berwudhu untuk melaksanakan shalat.
4)      Nifas
Nifas yaitu darah yang keluar dari Rahim perempuan mengiringi anak pada saat melahirkan. Lamanya nifas umumnya empat puluh hari/malam, dan maksimal enam puluh hari/malam. Lebih dari itu disebut darah istihadhah, dan caranya sama seperti darah istihadhah ketika haidh.
5)      Wiladah
Adalah orang perempuan yang melahirkan tetapi tidak ada darahnya. Ataupun keguguran, gumpalan daging ke luar, baik dalam bentuk janin atau tidak. Dasar hukum mandi wajib  perempuan nifas dan wiladah diqiyaskan seperti haidh (ijma’ para sahabat).
6)      Mati (selain mati syahid)
Apabila seorang muslim meninggal dunia, maka wajib kifayah bagi umat muslim lain untuk memandikannya. Lain halnya ketika seorang muslim yang mati syahid dalam membela agama Allah, maka tidak wajib dimandikan  elainkan langsung dikafani.
7)      Orang kafir masuk Islam
 Dari Qais bin ‘Ashim, waktu itu masuk Islam, Rasulullah Saw. Menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara.” (HR. Ahli Hadits, kecuali Ibnu Majah)
c.       Rukun-Rukun Mandi Junub
1)      Niat Mandi Wajib
Niat mandi wajib secara umum (keluar sperma, haidh, nifas, wiladah, hubungan seks): “Sengaja aku mengangkat hadats besar dari sekalian badan wajib atasku karena Allah Ta’ala.”
Begitu pula niat mandi wajib karena sebab haidh, nifas, wiladah, keguguran. Lafadz niatnya sama, hanya diganti pada bagian kata mengangkat hadats besar, jika karena haidh diganti menjadi mengangkat hadats haidh, dan seterusnya. Adapun niat yang dianggap sah ialah niat melakukan kefardhuan mandi, niat menghilangkan hadats besar, dan niat supaya diperbolehkan melakukan sesuatu yang membutuhkan mandi seperti niat agar diperbolehkan shalat, tawaf, dan sebagainya.
2)      Meratakan Air
Maksudnya adalah air harus diratakan ke seluruh badan termasuk bulu roma, rambut, jenggot, celah-celah lobang seperti ketiak, bagian alat vital, telinga, pusar, kulit kepala, dan seterusnya. Sebelum mandi hilangkan dulu semua kotoran yang ada pada badan seperti kutek, lipstick, cat, dan lain-lain.
d.      Sunnah-Sunnah Mandi
1)      Membasuh kedua tangan sebelum memasukannya ke dalam tempat air sebanyak tiga kali.
2)      Membasuh kemaluan.
3)      Berwudhu dengan sempurna seperti sebelum melakukan shalat.
4)      Mengalirkan air ke kepala sebanyak tiga kali sambil menyelang-nyelangi rambut agar air sampai membasahi kulit kepala.
5)      Lalu mengalirkan air ke seluruh tubuh dengan mendahulukan bagian kanan sebelum kiri, sambil menggosok-gosok anggota tubuh, termasuk bagian-bagian yang tidak mudah dijangkau dan dialiri air, seperti bgin dalam telinga, pusar, dua ketiak, dan sela-sela jari kaki.
e.       Hal-Hal yang Diharamkan Bagi Orang Junub
1)      Shalat.
2)      Thawaf.
3)      Menyentuh dan Membawa Mushaf (Al-Qur’an).
4)      Membaca Al-Qur’an.
5)      Berdiam diri di masjid.

f.       Macam-Macam Mandi Sunat
Diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Mandi pada hari Jumat.
2)      Mandi pada hari raya Idul Fitri, Idul Adh-ha, dan hari Arafah.
3)      Mandi waktu akan memakai ihram.
4)      Mandi sehabis memandikan jenazah.
5)      Mandi karena baru masuk Islam.
2.      Wudhu
a.       Pengertian Wudhu
Pengertian wudhu secara bahasa ialah kebersihan dari segala macam kotoran. Sedangkan dalam istilah syara’, wudhu adalah membasuh secara urutan (tertib) anggota-anggota wudhu yang dikhususkan oleh syara’. Atau dengan kata lain, wudhu adalah membasuh muka dengan air, kedua tangan hingga kedua siku, kedua kaiki hingga kedua mata kaki, mengusap kepala dengan urutan tertentu, dan dilakukan secara berturut-turut (muwalat) dengan disertai niat untuk menghilangkan hadats kecil, sehingga bisa menjadikan orang yang melakukannya boleh melakukan shalat, memegang mushaf, dan thawaf.[8]
b.      Landasan Hukum Wudhu
Hal ini dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya QS. Al-Maidah:6 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah ukamu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki”.
c.       Syarat Sahnya Wudhu
1)      Islam.
2)      Tamyis (dapat membedakan antara baik dan buruk).
3)      Dialkukan dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan.
4)      Tidak ada yang menghalangi sampainya air pada anggota wudhu, seperti cat dan getah.
5)      Tidak dalam keadaan berhadats besar.
d.      Rukun-Rukun Wudhu yang Disepakati oleh Semua Ulama adalah:
1)      Membasuh muka
2)      Membasuh kedua tangan hingga ke siku
3)      Mengusap kepala
4)      Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki
e.       Sunnah-Sunnah Wudhu
1)      Niat (sunnah menurut madzhab Hanafi).
2)      Membasuh kedua tangan hingga ke pergelangan sebanyak tiga kali sebelum memasukkan kedua tangan ke dalam tempat air.
3)      Membaca bismillah pada permulaan wudhu, yaitu ketika membasuh kedua tangan hingga sampai kepada dua pergelangan.
4)      Berkumur dan membersihkan hidung.
5)      Bersiwak.
6)      Menyela-nyela jenggot, ari tangan, dan jari kaki.
7)      Membasuh sebanyak tiga kali.
8)      Mengusap seluruh kepala.
9)      Mengusap kedua telinga bagian luar dan bagian dalam dengan air yang baru.
10)  Memulakan dengan anggota yang sebelah kanan ketika membasuh.
11)  Tartib (berurutan/berturut-turut)
12)  Sederhana. Tidak boros dalam memakai air wudhu.
13)  Berdoa ketika dan sesudah berwudhu.
f.       Perkara-Perkara yang Membatalkan Wudhu
1)      Keluar sesuatu dari qubul atau dubur berupa apapun. Seperti: kencing, buang air besar, angin dubur atau kentut, mani, madzi, dan wadi.
2)      Tidur nyenyak, kecuali dalam posisi duduk yang mantap.
3)      Hilang akal, disebabkan gila, mabuk, dan lain-lain.
4)      Bersinggungan antara kulit laki-laki dan perempuan yang telah dewasa dan tidak ada hubungan mahram.
5)      Menyentuh kemaluan manusia dengan bagian dalam telapak tangan.
g.      Hal-Hal yang Tidak Diperbolehkan Bagi Orang yang Tidak Memiliki Wudhu
1)      Shalat.
2)      Thawaf.
3)      Menyentuh mushaf.
3.      Tayamum
a.       Pengertian Tayamum
Secara bahasa, tayamum adalah al-qashdu (bermaksud), at-tawajjuhu (menuju), dan al-qashd (niat). Dalam istilah syara’, tayamum adalah bersuci menggunakan sesuatu yang halus/lembut dari permukaan bumi, dengan cara tertentu karena tidak ada air atau disebabkan oleh udzur yang menyebabkan seseorang tidak bisa menggunakan air.[9]
Debu yang digunakan untuk bertayamum adalah debu yang suci, dan segala sesuatu yang termasuk jenis tanah, seperti kerikil, batu, dan kapur batu.[10] Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa:43, “Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).”
b.      Landasan Hukum Tayamum
Tayamum dijelaskan dalam QS. An-Nisa: 43 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”

c.       Sebab-Sebab Tayamum
1)      Tidak adanya air yang mencukupi untuk wudhu ataupun mandi.
2)      Tidak ada kemampuan untuk menggunakan air.
3)      Sakit atau lambat sembuh.
4)      Ada air, tetapi ia diperlukan untuk sekarang ataupun untuk masa yang akan datang.
5)      Khawatir hartanya rusak jika ia mencari air.
6)      Iklim yang sangat dingin atau air menjadi sangat dingin.
7)      Tidak ada alat untuk mengambil air, seperti tidak ada timba ataupun tali.
8)      Khawatir terlewat waktu shalat.
d.      Syarat-Syarat Tayamum
Syarat-syarat diperbolehkannya tayamum, adalah sebagai berikut:
1)      Adanya udzur sebab bepergian atau sakit.
2)      Sudah masuk waktu shalat.
3)      Sudah berusaha mencari air setelah masuk waktu shalat.
4)      Menghilangkan najis yang mungkin melekat pada tubuh sebelum tayamum.
5)      Adanya halangan untuk menggunakan air.
6)      Memakai debu atau tanah yang suci.
e.       Tata Cara Tayamum[11]
1)      Niat.
2)      Menyebut nama Allah (tasmiyah).
3)      Menepukkan telapak tangan bagian dalam ke atas “benda lembut dari permukaan tanah (tanah)” sebanyak satu kali.
4)      Menipiskan debu yang melekat pada dua telapak tangan dengan cara meniup, dan mengibaskan, atau dengan cara mengusapkan bagian dalam telapak tangan kanan pada bagian dalam telapak tangan kiri.
5)      Mengusap seluruh wajah (bagian yang tampak dari wajah) dengan bagian dalam satu telapak tangan atau bagian dalam dua telapak tangan sebanyak satu kali usapan.
6)      Mengusapkan bagian dalam telapak tangan kiri pada punggung telapak tangan kanan, mulai dari ujung jemari hingga dua pergelangan, atau dari dua pergelangan hingga ujung jemari. Ini dilakukan satu kali sapuan.
7)      Mengusapkan bagian dalam telapak tangan kanan pada punggung telapak tangan kiri, mulai dari ujung jemari hingga dua pergelangan, atau dari dua pergelangan hingga ujung jemari. Ini dilakukan satu kali sapuan.
8)      Tartib (berurutan), yang diusap terlebih dahulu adalah wajah, baru kemudian punggung dua telapak tangan.
9)      Muawalat (berturut-turut).
f.       Hal-Hal yang Membatalkan Tayamum[12]
1)      Semua hal yang membatalkan wudhu.
2)      Sudah dapat menggunakan air,seperti sudah sembuh, tidak dingin, dan lain-lain.
3)      Melihat air sebelum mulai melaksanakan shalat, dan bagi orang yang sakit bila telah sanggup memakainya.
4)      Keluarnya waktu shalat.
5)      Murtad.
4.      Istinja’
Menurut bahasa istinja’ adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan najis, yaitu tahi. Sedangkan menurut istilah syara’, istinja’ berarti perbuatan yang dilakukan untuk menghilangkan najis dengan menggunakan benda seperti air atau batu. Istijmar yaitu membersihkan najis dengan menggunakan batu dan yang semacamnya. Sedangkan istibra’ ialah membersihkan tempat keluar najis dari sisa-sisa percikan air kencing.
D. Hikmah Thaharah
Dalam syariat Islam, bersuci mempunyai beberapa manfaat, antara lain sebagai berikut:[13]
1.      Kita semua tahu bahwa benda-benda najis baik dari dalam maupun luar tubuh manusia adalah benda-benda kotor yang banyak mengandung bibit penyakit dan dapat membawa madharat bagi kesehatan tubuh manusia. Karena itu, dengan bersuci berarti telah melakukan usaha untuk menjag kesehatan.
2.      Kebersihan dan kesehatan jasmani yang dicapai melalui bersuci akan menambah kepercayaan diri sendiri. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu mengutamakan kebersihan dan kesucian.
3.      Syariat bersuci berisi ketentuan-ketentuan dan adab, jika dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kedisiplinan akan menumbuhkan kebiasaan yang baik. Ketentuan dan adab bersuci dalam Islam berbentuk ajaran yang mempertinggi harkat dan martabat manusia.
4.      Sebagai hamba Allah Swt, yang harus mengabdi kepada-Nya dalam bentuk ibadah maka bersuci merupakan salah satu syarat sahnya sehingga menunjukkan pembuktian awal ketundukannya kepada Allah Swt. 




BAB III
PENUTUP

Dari pemaparan makalah yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa thaharah merupakan kegiatan bersuci atau membersihkan diri dari segala macam kotoran, baik badaniyah atau najis yang hissi (terlihat) seperti kencing atau yang lainnya, maupun rohaniyah atau najis ma’nawi yang tidak terlihat zatnya seperti aib dan maksiat. Dasar hukum dilaksanakannya thaharah terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, salah satunya yaitu QS. Al-Baqarah:222, Al-Muddatsir:4, dan lain-lain. Dalam berthaharah juga terdapat ketentuan-ketentuan seperti jenis-jenis air yang digunakan untuk bersuci dan lain sebagainya. Selain itu, macam-macam dan tata cara thaharah ada beberapa macam, yaitu mandi, wudhu, dan tayamum. Thaharah juga memiliki banyak hikmah, salah satunya yang terpenting adalah dengan berthaharah, umat muslim dapat terhindar dari segala macam penyakit dan selalu memperhatikan kebersihan, sebab Allah sangat menyukai kebersihan. Selain itu juga, dengan berthaharah melambangkan ketundukan umat muslim sebagai hamba Allah Swt. 









DAFTAR PUSTAKA

Matdawam, Muhammad Noor. 2004. Bersuci dan Shalat serta Butir-Butir Hikmahnya. Yogyakarta: T.P
Az-Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Darul Fikir
Uwaidhah, Mahmud Abdul Lathif. 2012. Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an dan Hadits. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Ulfah, Isnatin. 2009. Fiqih Ibadah Menurut Al-Qur’an, Sunnah, dan Tinjauan Berbagai Madzhab. Ponorogo: STAIN Po Press
Abidin, Slamet dan Moh. Suyono. 1998. Fiqih Ibadah untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS. Bandung: CV. Pustaka Setia                                                               
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2010. Fiqih Ibadah Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji. Jakarta: Amzah


[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 200.
   [2] Muhammad Noor Matdawan, Bersuci dan Shalat Serta Butir-Butir Hikmahnya (Yogyakarta: T.P, 2004), hlm. 21.
   [3] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 224.
   [4] Kalau bak (persegi) minimal panjang 60 cm, lebar 60 cm, dan dalamnya 60 cm. 216000cm3 atau 216 liter. Kalau bulat seperti drum, maka garis tengahnya 1 hasta (lk. 48 cm) dan dalamnya 2 ¼ hasta (lk. 108 cm) dan kelilingnya 3 1/7 hasta (lk. 121 cm). Menurut ukuran timbangan, 2 kulah sama dengan 195,112 kg.
[5] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2010), hlm. 425.
[6] Ibid., hlm. 425.
   [7] Muhammad Noor Matdawam, Bersuci dan Shalat serta Butir-Butir Hikmahnya (Yogyakarta: T.P, 2004), hlm. 37.
   [8] Mahmud Abdul Lathif Uwaidah, Tuntunan Thaharah Berdasarkan Qur’an dan Hadits (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2012), hlm. 458.
[9] Ibid., hlm. 676-677.
   [10] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 104.
[11] Ibid., hlm. 715.
   [12] Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah Menurut Al-Qur’an, Sunnah, dan Tinjauan Berbagai Madzhab (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009), hlm. 27-29.
   [13]Slamet Abidin dan Moh. Suyono, Fiqih Ibadah untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm. 34.